Pedoman-pedoman dalam Legislasi Hukum Islam

18.52.00








Pedoman-pedoman dalam Legislasi Hukum Islam
Syariah Islam datang membawa berbagai hukum guna memecahkan problem-problem pemerintahan dan legislasi dalam suatu masyarakat dengan solusi faktual. Syariah islam tidak menyodorkan konsep utopia seperti Trias Politika yang digagas untuk mencegah kesewenang-wenangan, yang di kemudian hari ternyata ditambal sulam dengan peraturan-peraturan yang membolehkan terjadinya intervensi antar kekuasaan dan pembatalan ketetapan satu kekuasaan oleh kekuasaan lain seperti terjadi dalam sistem liberal barat (demokrasi). Namun syariah Islam juga tidak memberikan kekuasaan absolut kepada pemerintah sehingga pemerintah tidak tersentuh hukum dan kebal kritik yang menyebabkan keadaan umat terabaikan dan hak-hak rakyat terlantar seperti yang terjadi di negara bersistem sosialis. Islam menyodorkan solusi untuk masalah pemerintahan yang sesuai dengan faktanya. Yaitu pada dasarnya, kepemimpinan itu dipegang oleh satu individu, apakah penguasa itu disebut amir, Imam, ataupun Khalifah. Ketika suatu pemerintah dijalankan, pada akhirnya ada satu individu tertentu yang berkuasa, bagaimanapun juga wewenang dibagi dan kekuasaan dipisahkan. Dalam sistem presidensial di barat, presidenlah sebagai sosok penentu, dan dalam sistem parlementer barat, pengambil keputusan terakhir secara riil adalah perdana menteri. Karena itu, hukum-hukum syara’ datang membawa solusi untuk memecahkan problem kehidupan yang sesuai dengan realitas problem itu, yaitu membatasi kepemimpinan hanya di tangan satu orang, walaupun untuk hal-hal yang agak remeh (juz’iyah). Nabi SAW bersabda:
Jika ada tiga orang bepergian dalam suatu perjalanan, hendaklah mereka mengangkat salah seorang diantara mereka menjadi pemimpinnya”. (HR. Abu Dawud)
Jadi Islam menetapkan kepemimpinan (al qiyadah/al imarah) di tangan satu orang. Demikian pula Islam membatasi kepemimpinan tertinggi bagi seluruh umat muslim di dunia (khilafah) di tangan satu individu, dan bila ada pihak lain yang berusaha merebutnya, Islam memerintahkan untuk memeranginya. Sabda Rasul SAW:
Siapa saja yang datang kepada kalian --sedang segala urusan kalian berada di tangan satu orang (khalifah)—lalu ia (orang yang datang itu) hendak memecah belah kesatuan kalian atau mencerai beraikan jama’ah kalian, maka bunuhlah dia”. (HR. Muslim)
Atas dasar ini, hukum-hukum yang terperinci yang berkaitan dengan kokdifikasi syariah dan penetapan undang-undang selaras dengan prinsip ini, yaitu syara’ telah memberikan otoritas kepada khalifah untuk melegislasi hukum serta membuat peraturan perundangan dan prosedural. Syara’ juga mewajibkan rakyat melaksanakan peraturan yang telah ditetapkan dan dilegislasi khalifah, sebagaimana syara’ telah memberikan wewenang yang luas kepada khalifah untuk mengatur urusan-urusan ummat dan melaksanakan kebijakan-kebijakan sesuai dengan hukum yang dilegislasinya.
Namun demikian, syara’ tetap memandang bahwa seorang kepala negara (khalifah) adalah pribadi yang tidak terbebas dari kesalahan (ghairu ma’shum). Ketika rasa keagamaannya melemah, bisa saja khalifah menjadi otoriter atau mengabaikan tugas-tugasnya melaksanakan hukum-hukum syara’, dengan menyalahgunakan otoritas-otoritas luas yang dimandatkan kepadanya. Oleh karena itu, Islam mengajukan hukum-hukum dan pedoman-pedoman syar’I untuk memecahkan problem ini dan mencegah terjadinya kesewenang-wenangan khalifah dalam melegislasi hukum dan menetapkan undang-undang. Pedoman-pedoman (dhawabith) tersebut diharapkan dapat menjamin jalannya kekuasaan negara dan urusan rakyat tetap berada dalam koridor syariah Islam.
Diantara pedoman-pedoman legislasi hukum dan undang-undang tersebut adalah:
Pertama, menjadikan syariah Islam sebagai satu-satunya standar bagi masalah perundangan di tengah masyarakat. Melegislasi hukum merupakan masalah yang ada batas-batasnya secara jelas dalam sistem politik Islam. Berbeda dengan barat, khalifah tidak berhak membuat sendiri sanksi-sanksi pidana untuk kejahatan yang berat seperti pembunuhan, pencurian, dan pelanggaran kehormatan karena syariah telah menetapkan hudud dan qishash sebagai sanksi-sanksi untuk tindak kriminal yang mengancam hilangnya maslahat primer-primer manusia (adh dharuriyat). Begitupun pengaturan umum lainnya seperti privatisasi kepemilikan, interaksi pria dan wanita, aktivitas muamalah, hubungan dengan non muslim, dsb. Berbeda dengan hukum positif yang bisa saja lembaga legislatif menyalahgunakan wewenangnya untuk melegitimasi penguasa, menguatkan kekuasaan individu atau segelintir golongan dalam pemerintahannya.
Kedua, wajib terikat dengan syara’ ketika melegislasi hukum dan menetapkan undang-undang. Dalam sistem politik negara Islam kedaulatan berada di tangan Syara’, dan kepemimpinan berada di tangan rakyat. Islam tegas atas muslim yang tidak mau diatur dengan hukum Allah, maka dia adalah kafir (QS 5:44), zalim (QS 5:45), atau fasik (QS 5:47). Oleh karena itu haram hukumnya khalifah melegislasi hukum bukan dari Islam secara mutlak. Rakyat wajib mentaati khalifah, selama khalifah terikat dengan syara’ dan tidak memerintahkan kepada kemaksiatan.
Ketiga, membatasi bidang-bidang yang diatur oleh peraturan perundangan (al qanun al tasyri’i) hanya pada pengaturan urusan-urusan umat dan tugas-tugas negara yang primer saja. Qanun Tasyri’I hanya boleh diambil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Tatkala khalifah diharuskan menjalankan aktivitas dan kebijakannya selaras dengan hukum syara’, hal ini menuntut khalifah untuk melegislasi hukum-hukum ijtihadiyah tertentu, bahkan adakalanya wajib bila khalifah tidak dapat menjalankan roda pemerintahan dan memelihara urusan rakyat kecuali dengan melegislasi satu hukum syara’ tertentu, misalnya dalam hal-hal yang berkaitan kesatuan negara, seperti zakat, kharaj, perjanjian negara lain, dsb. Begitu pula wajib melegislasi hukum yang ditetapkan oleh nash, seperti kewajiban jihad, keharaman riba dan zina, kebolehan jual beli, dsb. Dalam bidang yang pelaksanaannya tak terkait langsung dengan negara, seperti aqidah dan ibadah yang mengandung khilafiyah, maka negara hanya mengawasinya saja demi menghindarkan umat dari kesulitan dan perpecahan. Jika ada pengurusan ibadah yang mau tidak mau harus legislasi agar tidak terjadi simpangsuir pada masyarakat, maka boleh saja, seperti pengumpulan harta zakat, penentuan awal Ramadhan dan hari-hari raya.
Keempat, membatasi bidang-bidang yang diatur oleh peraturan prosedural (al qanun al ijra’i) hanya pada pelaksanaan kewajiban-kewajiban kolektif (fardhu kifayah) yang berkaitan dengan negara; dan pengaturan hal-hal yang mubah (tanzhim al mubahat) yang berkaitan dengan pemeliharaan urusan umat (ri’ayah fi syu’uni al ummah), mencakup larangan perbuatan yang menimbulkan bahaya (dharar) atau mengantarkan pada sesuatu yang diharamkan. Juga termasuk pengaturan kepemilikan umum, fasilitas dan sarana umum, serta penataan urusan administrasi negara yang bersifat khusus. Qanun ijra’I dapat dibuat semata pertimbangan akal manusia, boleh mengikuti produk luar, seperti dulu Khalifah Umar meniru sistem Diwan Persia. Adapun perkara mubah yang mendatangkan bahaya (dharar) maka harus ditetapkan, seperti ijma’ sahabat yang melegitimasi instruksi khalifah Utsman agar umat membaca al Qur’an dengan dialek Quraisy untuk menghindari kemudharatan dan perpecahan. Begitupun perkara mubah yang menghantarkan kepada keharaman, harus diatur proseduralnya. Seperti dilarangnya khamr, maka negara mengatur syarat-syarat pabrik farmasi yang berbahan baku alcohol agar tidak terjadi penyalahgunaan bahan.
Kelima, adanya syura (musyawarah) sebagai muhasabah untuk mencagah terjadinya legislasi undang-undang yang bertentangan dengan syariah Islam, juga ketundukan negara pada pengawasan umat dalam penetapan undang-undang dan legislasi hukum. Pendapat yang diambil adalah yang paling kuat, bukan yang paling banyak, maka suara majelis umat dalam konteksi ini tidak mengikat khalifah. Jika merupakan masalah teknis, tidak terkait hukum syara, juga tidak terkait masalah akademik maupun strategi tertentu, maka boleh diserahkan kepada suara mayoritas.
Keenam, pengawasan lembaga peradilan atas hak kepala negara dalam melegislasi hukum. Islam tegas atas keharusannya untuk kembali kepada syariah Islam jika terjadi penyimpangan legislasi dan penyalahgunaan wewenang khalifah. Para fuqaha telah meyinggung adanya lembaga yang menangani persengketaan tentang keabsahan undang-undang dalam kacamata syariah, yaitu Mahkamah Muzhalim. Qadhi Muzhalim berwenang mengawasi kelahiran undang-undang dari Rahim Islam dan mencegah munculnya peraturan-peraturan yang menyalahi Islam, juga mengadili para pejabat dan penguasa (ulil amri) dalam masyarakat Islam.
Oleh karena itu, kriteria yang terpilih menjadi pemimpin negara bukanlah orang sembarangan yang dipandang sebelah oleh kebanyakan masyarakat. Harus yang benar-benar sanggup memimpin dan membawa negara agar Islam dan dakwah Islam semakin berkembang. Begitupun dengan para hakim yang menjalankan hukum di tengah-tengah masyarakat haruslah mujtahid sehingga bisa menjalankan tugasnya secara adil.
M Afif Sholahudin (Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Bandung)


#PEDULIPOLITIKPEDULIKAUMMUSLIM


Blog:
www.lspiuinbdg.blogspot.co.id

Facebook:
Lembaga Studi Politik Islam - LSPI
 
Instagram:
@lspi.uinbdg

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook