Hukum Pembuktian dalam Islam

20.34.00


Ahkam al-bayyinat (hukum-hukum pembuktian) sama seperti halnya hukum-hukum islam yang lain, merupakan hukum-hukum syara’ yang digali dari dalil-dalil yang bersifat rinci. Bayyinat (pembuktian) kadang-kadang terjadi pada kasus pidana (‘uqubat), bisa pula terjadi pada kasus perdata (mu’amalat). Namun demikian, para ulama fiqh tidak membedakan hukum-hukum bayyinat dalam perkara mu’amalat dan perkara ‘uqubat. Semuanya mereka bahas dalam kitab syahadat (kitab tentang kesaksian). Sebagian pembahasan mengenai hukum-hukum bayyinat juga mereka cantumkan dalam kitab Aqdliyyah (Kitab Peradilan), dan dalam kitab ad-Da’awiy wa al-Bayyinat (Kitab Tuduhan dan Pembuktian). Sebagian pembahasan mengenai hukum bayyinat juga mereka jelaskan dalam sebagian kasus-kasus ‘uqubat, sebab al-bayyinat (pembuktian) merupakan salah satu syarat dari ‘uqubat disamping sebagai bagian terpenting daripembahasan mengenai perkara-perkara ‘uqubat.

Bukti (al-bayyinat) adalah, semua hal yang bisa membuktikan sebuah dakwaan. Bukti merupakan hujjah bagi orang yang mendakwa atas dakwaannya. Dari ‘Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya, bahwa Nabi saw bersabda:

“Bukti itu wajib bagi orang yang mendakwa, sedangkan sumpah itu wajib bagi orang yang didakwa.”

Imam Baihaqi meriwayatkan sebuah hadits dengan isnad shahih dari Nabi saw, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda:

“Bukti itu wajib bagi orang yang mendakwa, sedangkan sumpah itu wajib bagi orang yang mengingkarinya”.

Oleh karena itu, bukti merupakan hujjah bagi pendakwa, yang digunakan untuk menguatkan dakwaannya. Bukti juga merupakan penjelas untuk menguatkan dakwaannya. Sesuatu tidak bisa menjadi bukti, kecuali jika sesuatu itu bersifat pasti dan meyakinkan. Seseorang tidak boleh memberikan kesaksian kecuali kesaksiannya itu didasarkan pada ‘ilm, yaitu didasarkan pada sesuatu yang meyakinkan. Kesaksian tidak sah, jika dibangun diatas dzan (keraguan). Sebab Rasulullah saw telah bersabda kepada para saksi:

“Jika kalian melihatnya seperti kalian melihat matahari, maka bersaksilah. (Namun) jika tidak maka tinggalkanlah”.

Oleh karena itu, bukti yang didapatkan dari jalan tertentu, atau jalan yang bisa mengantarkan kepada keyakinan, seperti diperoleh dari proses penginderaan salah satu alat indera, sedangkan yang diindera itu bisa dibuktikan validitasnya, maka bukti semacam ini termasuk bukti yang meyakinkan. Masyarakat diperbolehkan memberika kesaksian dengan bukti semacam ini. sedangkan bukti yang tidak diperoleh dari jalan seperti itu, maka bersaksi dengan bukti tersebut tidak diperbolehkan. Karena bukti tersebut bukanlah bukti yang meyakinkan. Jika bukti tersebut berasal dari sesuatu yang meyakinkan, seperti halnya kesaksian yang diperoleh dari jalan as-sama’ (mendengar informasi dari orang lain), contohnya kesaksian dalam kasus nikah, nashab, kematian, dan lain-lain, maka secara otomatis seorang saksi boleh memberikan kesaksiannya (dengan bukti-bukti tersebut). Informasi yang ia dengar itu telah membuat dirinya yakin, meskipun ia tidak menjelaskan keyakinannya itu dengan kesaksiannya. Sebab, keyakinan yang ia miliki merupakan sesuatu yang telah lazim bagi dirinya, sehingga dirinya sah untuk memberikan kesaksian.

Demikian pula halnya dengan sumpah. Sumpah juga harus berasal dari sesuatu yang bersifat meyakinkan atau pasti. Tatkala orang yang mendakwa bersumpah untuk memperkuat dakwaannya -pada kondisi tidak ada saksi-, kecuali hanya seorang saksi dalam masalah harta (amwal), maupun pada kasus-kasus yang lain; atau ketika terdakwa bersumpah -karena bukti dakwaan dari orang yang mendakwa lemah-, maka keduanya tidak boleh bersumpah kecuali berdasarkan kayakinan yang pasti. Jika mereka bersumpah berdasarkan keraguan (dzan), maka keduanya tidak sah melakukan sumpah. Allah swt mengancam dengan sangat keras atas sumpah palsu. Dari Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah saw bersabda:

“Ada lima hal yang tidak ada kafarah baginya, (yaitu) menyekutukan Allah, membunuh jiwa tanpa hak, menipu seseorang mukmin, lari dari medan perang, sumpah yang digunakan untuk mengambil harta orang lain tanpa hak.”

Imam Bukhari meriwayatkan hadits dari Ibnu ‘Amru:

“Ada laki-laki Arab mendatangi Nabi saw, kemudian ia berkata, “Ya Rasulullah, apa saja dosa besar itu?”, beliau menjawab, “menyekutukan Allah, membunuh jiwa tanpa hak, membohongi seorang mukmin, lari dari medan perang, dan sumpah palsu.”

Ini merupakan dalil bahwa sumpah tidak boleh dilakukan kecuali didsarkan pada bukti yang meyakinkan.

Sama seperti kesaksian dan sumpah, seluruh bukti, baik itu berupa pengakuan, dokumen-dokumen perdagangan, dan bukti-bukti tertulis, harus bersifat pasti dan meyakinkan. Semua bukti tersebut tidak boleh meragukan (dzan). Bukti-bukti tersebut merupakan bukti (penjelas) untuk memperkuat dakwaan, sekaligus mejadi hujjah orang yang mendakwa atas dakwaannya. Sesuatu yang ingin dijadikan bukti dan hujjah tidak bisa dijadikan bukti dan hujjah, kecuali bersifat meyakinkan.

Meskipun bukti-bukti harus ditopang diatas ilmu atau keyakinan, namun tidak berarti bahwa hukum (ketetapan) yang dihasilkan dari bukti-bukti tersebut disandarkan atas sesuatu yang meyakinkan. Juga tidak berarti bahwa hakim (qadliy) harus menjatuhkan vonis dengan adanya bukti-bukti tersebut. Yang dimaksud disini adalah berkenaan dengan adanya esesndi dari bukti-bukti tersebut. Artinya, bukti-bukti tidak sah menjadi bukti kecuali besifat meyakinkan. Adapun hukum yang dihasilkan dari bukti-bukti tersebut, hal itu perkara lain lagi. Vonis adakalanya disandarkan diatas ghalabat ad-dzan (prasangka kuat), bukan disandakan diatas keyakinan (kepastian). Allah swt berkata kepada Rasul saw:

“Maka hukumilah mereka itu dengan apa yang datang dari Allah” (TQS. Al-Maidah: 48)

Maksudnya, hukumilah mereka dengan pendapat kamu. Pendapat disini mencakup pendaat yang bersumber dari pendapat yang meyakinkan (qath’iy) dan juga pendapat yang bersumber dari prasangka kuat. Rasulullah saw telah memutuskan sebuah perkara, dan beliau bersabda -dimana ini menunjukkan bahwa keputusan (vonis) beliau dibangun diatas ghalabat ad-dzan-.

Dari Umu Salamah bahwa Nabi saw bersabda:
“sesungguhnya aku ini adalah manusia biasa, dan kalian telah membwa masalah-masalah yang kalian peselisihkan kepadaku. Ada diantara kalian yang hujjahnya sangat memukau daripada yang lain, sehingga aku putuskan sesuai dengan apa yang aku dengar. Oleh karena itu, siapa saja yang aku putuskan, sementara ada hak bagi saudaranya yang lain, maka janganlah kalian mengambilnya. Sesungguhnya, apa yang aku utuskan bagi dirinya itu merupakan bagian dari api neraka.”

Ini merupakan dalil bahwa seorang qadliy memutuskan hukum dengan prasangkanya (dzan). Bahkan Rasulullah saw telah menyatakan dengan jelas, bahwa pada dasarnya seorang hakimitu memutuskan sesuatu berdasarkan dzan. Dari ‘Amru bin al-‘Ash, beliau mendengar Rasulullah saw bersabda:

“Jika seorang hakim memutuskan suatu perkara, lantas ia berijtihad, dan ijtihadnya benar, maka ia mendapat dua pahala. Namun, jika seorang hakim hendak memutuskan suatu perkara, kemudian ia berijtihad, dan ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala.”

Semua ini merupakan dalil bahwa keberadaan suatu kesaksian harus meyakinkan. Meskipun demikian, tidak berarti bahwa ketetapan hukum yang dihasilkan harus selalu dibangun diatas sebuah keyakinan. Keputusan boleh dibangun diatas prasangka kuat (ghalabat ad-dzan).

Keberadaan kesaksian tidak sah kecuali berasal dari sesuatu yang meyakinkan -meskipun tidak berarti bahwa qadliy wajib menjatuhkan vonis berdasarkan kesaksian tersebut-, hal ini disebabkan karena kesaksian hanya meyakinkan dari sisi saksi, namun tidak dari sisi qadliy. Kadang-kadang qadliy mendapati ada keterangan-keterangan qath’iy yang bertentangan dengan kesaksian itu. Kadang-kadang pula seorang qadliy memiliki dugaan kuat bahwa saksi sedang berdusta. Oleh karena itu, qadliy tidak wajib menjatuhkan vonis berdasarkan sebuah kesaksian, meskipun meyakinkan. Ia berhak menjatuhkan vonis berdasarkan kesaksian tersebut atau menolaknya.

*dikutip dari terjemahan kitab ahkam al-bayyinat karya Ahmad ad-Da’ur, bab 1.


#PEDULIPOLITIKPEDULIKAUMMUSLIM


Blog:
www.lspiuinbdg.blogspot.co.id

Facebook:
Lembaga Studi Politik Islam - LSPI
 
Instagram:
@lspi.uinbdg


You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook