Dibalik Penghapusan Piagam Jakarta

00.26.00


Dibalik Penghapusan Piagam Jakarta

Tanggal 22 Juni 1945 adalah hari kesepakatan rumusan Dasar Negara Indonesia (Piagam Jakarta) yang ditandatangani oleh sembilan orang (Panitia Sembilan) dari kelompok Islamis dan Sekuleris. Bahkan kesepakatan tersebut ditandatangani oleh salah satu tokoh Nashrani A.A Maramis.

Setelah ditetapkan, Piagam Jakarta pun disampaikan kembali oleh Soekarno pada 10 hingga 16 Juli 1945 dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Dalam sidang tersebut salah seorang wakil dari Ambon Johannes Latuharhary keberatan dengan sila pertama “Ketuhanan dengan menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Akan tetapi Soekarno meyakinkan wakil dari Ambon tersebut dan mensahkan Piagam Jakarta sebagai Muqaddimah UUD 1945.

18 Agustus 1945, keanehanpun terjadi ketika sila pertama mendadak dirubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ternyata sila tersebut tidak diterima oleh kaum Nashrani dari Timur melalui perantara Angkatan Laut Jepang yang disampaikan kepada Muhammad Hatta dengan alasan apabila sila tersebut tidak dihapus, mereka akan keluar dari Indonesia.

Walaupun pengubahan sila pertama ada campurtangan Umat Muslim, akan tetapi campurtangan tersebut hanyalah sebuah keterpaksaan. Mereka terpaksa karena tidak ingin perpecahan, kemudian mereka dibujuk untuk menyetujuinya dengan alasan terdapat pasal dalam UUD 1945 mengenai MPR akan menyempurnakan UUD setelah enam bulan.

Ini sangat aneh. Keanehan pertama, orang Nashrani dari Timur tidak terima dengan sila pertama, akan tetapi tokoh Nashrani yang menandatangani Piagam Jakarta tidak mempermasalahkan. Keanehan kedua, kenapa Hatta dengan mudahnya percaya kepada Angkatan Laut Jepang? Padahal sudah jelas bahwa Maramis dari tokoh Nashrani menyetujui Piagam Jakarta.

Inilah sekelumit sejarah penghapusan Piagam Jakarta yang sekaligus sebagai kekalahan politik Umat Islam. Akibat dari kekalahan ini tidak lain adalah kerjasama dengan pihak Nashrani serta para munafikun.

Lihatlah ciri atau karakter orang munafik:
“Jika mereka diajak taat kepada Allah dan Rasul-Nya dengan melaksanakan hukum-hukum Allah atas mereka, tiba-tiba sebagian dari mereka menolaknya” (An-Nuur: 48).

Lihat juga ciri atau karakter orang Kafir:
“Mereka ingin supaya kamu kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka)...” (An-Nisa: 89).

Larangan mentaati orang kafir dan munafik:
“Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang orang kafir dan orang-orang munafik...” (Al-Ahzab: 1).

Pada akhirnya, dibutuhkan kembali kesadaran akan pentingnya penerapan syariat Islam dan kesatuan umat Islam di Indonesia untuk kembali merumuskan apa yang sebelumnya sangat diharapkan melalui Piagam Jakarta. Dan melakukan banyak evaluasi dari kegagalan penerapan piagam Jakarta pada waktu itu. Wallahu'alam..[fikri]
 

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook